Misteri Luka Jenazah 7 Pahlawan Revolusi!
Misteri dan Kontroversi Luka-Luka Pada Jenazah 7 Pahlawan Revolusi
“…only in four months, five times
as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years…”
(Bertrand Russell, 1966)
(Bertrand Russell, 1966)
!!! WARNING GRAPHIC CONTENT !!!
!!! PERHATIAN GAMBAR MEMILUKAN !!!
Meski sudah
puluhan tahun lamanya, namun peristiwa tragis pemberontakan partai G 30 S / PKI
1965 yang diberitakan dan diisyukan akan mengudeta negeri ini tak akan pernah
terlupakan. Peristiwa tersebut masih banyak menimbulkan kenangan pahit dan
banyak pertanyaan daripada jawabannya.
Untuk mengenang jasa dan pengorbanan tak ternilai
dari ketujuh Pahlawan Revolusi dan juga untuk memperingati serta mengenang
peristiwa tersebut agar tak pernah ada lagi, maka kami akan menguak sedikit
dari banyaknya tandatanya-tandatanya besar yang masih tersimpan di saku tiap
rakyat Indonesia yang tercinta ini yang belum terjawab.
Mungkin ada benarnya kata pepatah, jika kita
berada diwilayah orang yang sangat-sangat berkuasa dimana informasi apapun
sangat-sangat terbatas dan penuh rekayasa, maka terkadang kebenaran akan
terungkap belakangan karena kebenaran takkan pernah hilang, walau terlihat
“seperti hilang” oleh waktu.
A. Kronologi Pengangkatan Jenazah Dari Dalam Sumur
Suharto, sebagai komandan Abri saat memimpin pasukan
untuk memerangi G-30/S-PKI
Mengangkat jenazah tujuh pahlawan revolusi di
Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi sumur yang dalam dan mayat yang
mulai membusuk, membuat evakuasi sulit dilakukan.
Tapi para prajurit Kompi Intai Amfibi Korps
Komando Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL), tak mau menyerah.
Sebenarnya jenazah sudah ditemukan sejak sehari
sebelumnya, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1965, atas bantuan polisi Sukitman dan
masyarakat sekitar.
Peleton I RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong
Panjaitan segera melakukan penggalian.
Tapi mereka tak mampu mengangkat jenazah karena
bau yang menyengat.
Jenderal Soeharto pun memerintahkan kepada pasukan
evakuasi bahwa penggalian dihentikan pada malam hari.
Pasukan KKO bersiap masuk ke sumur dengan menggunakan
peralatan selam dan masker
Maka penggalian pun ditunda dan penggalian akan
kembali dilanjutkan keesokan harinya.
Dalam buku Sintong Panjaitan, perjalanan seorang
prajurit para komando yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto, dilukiskan
peristiwa seputar pengangkatan jenazah.
Kala itu Sintong berdiskusi dengan Kopral Anang,
anggota RPKAD yang dilatih oleh Pasukan Katak TNI AL.
Anang mengatakan peralatan selam milik RPKAD ada
di Cilacap, hanya KKO yang punya peralatan selam di Jakarta.
Maka singkat cerita, KKO meminjamkan peralatan
selam tersebut untuk operasi pengangkatan jenazah dari dalam lubang sumur di
daerah lubang Buaya tersebut.
Tanggal 4 Oktober, Tim KKO
dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan evakuasi jenazah
pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit
itu.
Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD
Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan tabung
oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, yang
pertama adalah jenazah Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution.
Pukul 12.15 WIB, Serma KKO
Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya
jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.
Pukul 12.30 WIB, giliran Prako
KKO Subekti yang turun. Dua jenazah berhasil ditarik, Mayjen S Parman dan
Mayjen Suprapto.
Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO
Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen
Sutoyo.
Pukul 13.30 WIB, Serma KKO
Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen
Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah pahlawan revolusi yang
ditemukan.
Sebagai
langkah terakhir, harus ada seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek
apakah sumur sudah benar-benar kosong.
Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada
lagi yang mampu masuk lagi. Mereka semua kelelahan.
Bahkan ada yang keracunan bau busuk hingga terus
muntah-muntah.
Maka Kapten Winanto sebagai komandan terpanggil
melakukan pekerjaan terakhir itu. Dia turun dengan membawa alat penerangan.
Ternyata benar, di dalam sumur masih ada satu
jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen D.I. Panjaitan.
Dengan demikian lengkaplah sudah jenazah enam
jenderal dan satu perwira pertama TNI AD yang dinyatakan telah hilang diculik
Gerakan PKI pada tanggal 30 September 1965.
Kapten KKO Winanto sendiri terus melanjutkan
karirnya di TNI AL. Lulusan Akademi Angkatan laut tahun 1959 ini pernah
menjabat Komandan Resimen Latihan Korps Marinir, Komandan Brigade Infanteri
2/Marinir sebelum pensiun sebagai Gubernur AAL.
Ia sudah meninggal pada Minggu, 2 September 2012
pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di kediamannya Jl Pramuka no 7, Kompleks TNI
AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer di San Diego
Hills, Karawang, Jawa Barat.
B. Kronologi Visum et
Epertum Dokter Forensik
4 Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu. Lima
dokter yang diperintahkan Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto
memulai tugas mereka.
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:
1. Ahmad Yani, Letnan Jenderal
(Menteri Panglima Angkatan Darat).
2. R. Soeprapto, Mayor Jenderal.
(Deputi II Menpangad).
3. MT. Harjono, Mayor Jenderal.
(Deputi III Menpangad).
4. S. Parman, Mayor Jenderal.
(Asisten I Menpangad).
5. D. Isac Panjaitan, Brigardir
Jenderal. (Deputi IV Menpangad).
6. Soetojo Siswomihardjo,
Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).
7. Pierre Andreas Tendean, Letnan
Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution).
Jenazah enam jenderal dan satu perwira muda
Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya,
Pondokgede, Jakarta Timur. Dari lima anggota tim dokter yang mengautopsi
ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan Darat,
yakni:
1. dr. Brigardir
Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP
Angkatan Darat)
2. dr. Kolonel Frans Pattiasina
(perwira kesehatan RSP Angkatan Darat)
Sementara tiga lainnya adalah dokter
Kehakiman, masing-masing:
3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro
(ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK
UI)
4. dr. Liauw Yan Siang (lektor
dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)
5. dr. Liem Joe Thay (atau
dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), anda dapat membaca kisahnya di akhir
halaman ini)
Akhirnya lewat tengah malam, pukul 12.30 atau
dinihari pada tanggal 5 Oktober 1965, dr. Roebiono dkk menyelesaikan tugas
mereka. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh
jenazah korban penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan
Revolusi ini, dimakamkan di TMP Kalibata.
Tampak salah satu peti jenazah Pahlawan Revolusi
sedang diangkat untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
C. Hasil Visum et Repertum Jenazah
Tiap Korban
Ketika diperiksa ketujuh mayat telah dalam
keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari sebelumnya. Dapat dipastikan
ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat ini tewas mengenaskan dengan
tubuh dihujani peluru dan tusukan.
1. Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan
Darat).
Jenazah Letjen Ahmad Yani diidentifikasi oleh
Ajudan Menpangad Mayor CPM Soedarto dan dokter pribadinya, Kolonel CDM Abdullah
Hassan, dengan penanda utama parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang
dikenakannya serta kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan
rahang atas diantara gigi-gigi seri pertama.
Tim dokter menemukan delapan luka tembakan dari
arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Sementara di bagian perut
terdapat dua buah luka tembak yang tembus dan sebuah luka tembak yang tembus di
bagian punggung.
a. Info dari Indo Leaks
Sebelumnya, dokumen visum et repertum
Ahmad Yani yang dirilis Indoleaks juga hanya menyebutkan luka tembak.
Visum et Repertum Jenderal Ahmad Yani (Klik untuk
memperbesar). (sumber:
blogs.swa-jkt.com/swa/10693/2013/01/29/30-september-1965)
Padahal Orde Baru mencatat kalau PKI telah
mencungkil mata Pahlawan Revolusi itu.
2. R. Soeprapto (Deputi II Menpangad)
Jenazah Mayjen R. Soeprapto diidentifikasi oleh
dokter gigi RSPAD Kho Oe Thian dari susunan gigi geligi sang jenderal.
Pada jenazah R. Soeprapto ditemukan:
(a) tiga luka tembak masuk di bagian depan,(b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang,
(c) tiga luka tembak keluar di bagian depan,
(d) dua luka tembak keluar di bagian belakang,
(e) tiga luka tusuk,
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka,
(g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan
(h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha kanan.
a. Indoleaks: Ternyata Saat Wafat, Organ Tubuh Letnan Jenderal Soeprapto Masih Utuh!
Letjen Suprapto adalah
pahlawan revolusi yang menjadi korban pembunuhan G30 S PKI pimpinan DN Aidit
dan Kolonel Untung. Beliau lahir di Purwokerto 20 Juni 1920 dan wafat di Lubang
Buaya 1 Oktober 1965.
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di
Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia
merupakan salah satu korban dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pendidikan umum yang berhasil ia tamatkan adalah
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yakni pendidikan setingkat SMP
dan AMS (Algemne Middelberge School) yaitu pendidikan setingkat SMA.
Suprapto pernah mengikuti pendidikan militer Koninklijke
Militaire Akademie di Bandung namun tidak tamat karena pendudukan Jepang.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI pada
tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik
dan dibunuh.
Hingga meredupnya peristiwa tersebut, tak ada
lagi yang membahasnya karena kini telah sibuk oleh brainwashed dunia lainnya
dan mulai menganggap bahwa sejarah sudah lewat dan bukanlah apa-apa lagi.
Padahal melalui sejarah, kita dapat belajar, karena sejarah adalah fakta, dan
fakta adalah sejarah. Sejarah adalah track record.
b. Dokumen Visum et Repertum Letjen
Suprapto
Kisah sadis menyertai peristiwa G30S PKI dalam
sejarah yang dicatat Orde Baru. Letjen Anumerta R Soeprapto misalnya, disebut
disilet-silet dan dipotong alat kelaminnya. Namun sebuah dokumen visum et
repertum yang dirilis situs whistle blower Indoleaks, menunjukkan
hal yang berbeda.
Dari situs resminya yang dikeluarkan sejak
beberapa tahun lalu, Senin (13/12/2010), ada lagi sebuah dokumen visum
et repertum yang dibuat oleh 4 dokter RSPAD yaitu dr Roebino Kertopati, dr
Frans Pattiasina, dr Sutomo Tjokronegoro, dr Liaw Yan Siang, dr Lim Joe Thay,
pada 5 Oktober 1965. Bagian nama, tempat tanggal lahir, pangkat, jabatan dan
alamat sengaja dihitamkan.
Tampak dokumen Visum et repertum oleh dokter
dituliskan pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia
tidak boleh bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa kenyataan
itu, harus dimasukkan dalam visum et repertum itu harus jadi pegangan,
sebab ini satu kenyataan, bukan khayalan.
Visum et Repertum Jenderal Suprapto (Klik untuk
memperbesar). (sumber:
blogs.swa-jkt.com/swa/10693/2013/01/29/30-september-1965)
Namun dari deskripsi luka, diduga kuat bahwa
dokumen itu adalah dokumen visum et repertum Letjen TNI Anumerta R
Soeprapto. Data pembandingnya adalah keterangan visum Letjen R Soeprapto yang
pernah disebutkan dalam makalah pakar politik Indonesia dari Cornell
University, AS, Ben Anderson, pada jurnal ‘Indonesia‘ edisi April
1987.
Ada kain sarung dan kemeja yang melekat pada
korban. Ada beberapa persamaan dan banyak juga perbedaan antara luka Letjen
Soeprapto versi Orde Baru dan dokumen visum yang asli. Berbeda dengan Ahmad Yani,
Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya. Dia baru gugur di Lubang
Buaya.
Dalam versi Orde Baru dan juga dilansir Harian Berita
Yudha 9 Oktober 1965, wajah dan tulang kepala Soeprapto remuk namun masih
dapat diidentifikasi. Hasil visum juga menunjukkan kalau ada luka dan pukulan
benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
Lubang sumur tua sedalam 12 meter yang digunakan untuk
membuang jenazah para korban G30S/PKI. Sumur tua itu berdiameter 75 Cm.
Nah, justru perbedaannya yang mencolok. Versi TNI
menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban,
bahkan memotong alat kelamin korban. Namun, rupanya dalam dokumen yang diungkap
Indoleaks, hal itu tidak terbukti.
Laporan visum untuk Soeprapto, selain patah/retak
tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha
kanan.
Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan.
Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu
tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
Pembunuhan Letjen Soeprapto tentu saja tragis,
namun tidak sesadis yang dijabarkan dalam catatan sejarah versi Orde Baru.
Ia juga salah satu perwira TNI yang menolak
pembentukan angkatan kelima yang diusulkan PKI sehingga menjadi target
pembunuhan PKI bersama Ahmad Yani, MT Haryono, DI Pandjaitan,Sutoyo Siswo
Miharjo dan S.Parman.
Monumen Pancasila Sakti, yang berada di daerah Lubang
Buaya, Cipayung, Jakarta Timur ini, berisikan bermacam-macam hal dari masa
pemberontakan G30S – PKI, seperti pakaian asli para Pahlawan Revolusi.
d. Perbandingan Informasi
Mari kita coba kembali flashback dari
info diatas mengenai janazah Soeprapto, menurut info dari ABRI dan Indo Leaks.
i. Versi Orba dan TNI:
- Wajah dan tulang kepala Soeprapto remuk namun
masih dapat diidentifikasi.
- Luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
- Menurut versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban.
ii. Versi Indoleaks:- Luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
- Menurut versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban.
- Ada kain sarung dan kemeja yang masih melekat
pada korban.
- Jenderal Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya.
- Dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, Jendral ini tak disilet-silet, dan alat kelamin korban tak dipotong.
- Terdapat patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan.
- Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
- Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
3. MT. Harjono (Deputi III Menpangad)- Jenderal Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya.
- Dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, Jendral ini tak disilet-silet, dan alat kelamin korban tak dipotong.
- Terdapat patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan.
- Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
- Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
Di bagian perut Mayjen
MT. Harjono ditemukan sebuah luka tusuk benda tajam yang menembus sampai ke
rongga perut. Luka tusuk benda tajam juga ditemukan di punggung, namun tidak
menembus rongga dada. Dan di tangan kiri dan pergelangan tangan kanan terdapat
luka karena kekerasan tumpul yang berat.
Jenazah Mayjen MT. Harjono diidentifikasi oleh
saudara kandungnya, MT. Moeljono, pegawai Perusahaan Negara Gaya Motor. Salah
satu tanda pengenal jenazah ini adalah cincin kawin bertuliskan “Mariatna”,
nama sang istri.
Cincin kawin, bertuliskan “SPM” juga menjadi
salah satu penanda jenazah Mayjen S. Parman, selain kartu tanda anggota AD dan
surat izin mengemudi serta foto di dalam dompetnya.
4. S. Parman (Asisten I Menpangad)
Jenazah S. Parman diidentifikasi
oleh dr. Kolenel CDM Abdullah Hasan.
Pada mayat S. Parman ditemukan:
(a) tiga luka tembak masuk di kepala bagian depan,(b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan,
(c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri,
(d) dua luka tembak keluar di kepala,
(e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.
5. D. Isac Panjaitan (Deputi IV Menpangad)
Mayat Brigjen DI.
Panjaitan diidentifikasi oleh adiknya, Copar Panjaitan dan Samuel Panjaitan,
dan dikenali dari pakaian dinas yang dikenakannya serta cincin mas di tangan
kiri yang bertuliskan “DI. Panjaitan”.
Tim dokter menemukan luka tembak masuk di bagian
depan kepala, juga sebuah luka tembak masuk di bagian belakang kepala. Sementara
itu di bagian kiri kepala terdapat dua luka tembak keluar. Terakhir, di
punggung tangan kiri terdapat luka iris.
6. Soetojo Siswomihardjo (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).
Mayat berikutnya adalah
Brigjen Soetojo Siswomihardjo yang diidentifikasi oleh adiknya, dokter hewan
Soetopo. Jenazah Brigjen Soetojo dikenali dari kaki kanannya yang tidak
ber-ibujari, pakaian yang dikenakannya, arloji merek Omega dan dua cincin emas
masing-masing bertuliskan “SR” dan “SS”.
Pada mayat Brigjen Soetojo ditemukan:
(a) dua luka tembak masuk di tungkai bawah kanan
bagian depan,
(b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan,
(c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah,
(d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan
(e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.
7. Pierre Andreas Tendean (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH
Nasution)(b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan,
(c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah,
(d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan
(e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.
Selanjutnya adalah
mayat Lettu P. Tendean yang dikenali perwira kesehatan Dirkes AD CDM Amoro
Gondoutomo yang menjadi dokter pribadi Menko Hankam/KASAB.
Mayat P. Tendean dikenali dari pakaian yang
dikenakannya, gigi geligi dan sebuah cincin logam dengan batu cincin berwarna
biru.
Pada mayat P. Tendean tim dokter menemukan:
(a) empat luka tembak masuk di bagian belakang,(b) dua luka tembak keluar bagian depan,
(c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan
(d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.
D. Format Dokumen Visum et Repertum 7 Jenazah Korban
Dokumen visum et repertum ketujuh korban
yang saya peroleh dituliskan dalam format yang sama. Di pojok kanan atas
halaman depan terdapat tulisan “Departmen Angkatan Darat, Direktortat
Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia”.
Sementara di pojok kiri halaman depan tertulis
“Salinan dari salinan.”
Bagian kepala laporan bertuliskan “Visum et
Repertum” diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103
(Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean).
Bagian awal laporan adalah mengenai dasar hukum
tim dokter tersebut. Pada bagian ini tertulis rangkaian kalimat sebagai berikut:
“Atas perintah Panglima Kostrad selau
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat di Jakarta, dengan surat perintah tanggal empat Oktober
tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima, nomor PRIN-03/10/1965 yang
ditandatangani oleh Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang oleh Kepala Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat diteruskan kepada kami yang bertandatangan di bawah ini.”
Diikuti nama dan jabatan kelima dokter anggota
tim. Setelah itu adalah bagian yang menjelaskan kapan dan dimana visum et
repertum dilakukan. Pada bagian ini tertulis kalimat:
“maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun
seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah lima sore sampai
tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima jam setengah
satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah
melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut surat perintah tersebut di
atas adalah jenazah dari pada.”
Bagian ini diikuti oleh bagian berikutnya yang
menjelaskan jati diri jenazah dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis
kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.
Selanjutnya ada sebuah paragraph yang menjelaskan
kondisi terakhir jenazah sebelum ditemukan dan diperiksa. Pada bagian ini
tertulis:
“Korban tembakan dan/atau penganiayaan pada
tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu lima pada peristiwa
apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”
Bagian ini dikuti oleh penjelasan identifikasi;
siapa yang mengidentifikasi dan apa-apa saja tanda utama yang dijadikan patokan
dalam identifikasi itu.
Setelah bagian indentifikasi, barulah tim dokter
memaparkan temuan mereka dari “hasil pemeriksaan luar” yang dilakukan terhadap
jenazah sebelum mengkahirinya dengan “kesimpulan”.
Keterangan gambar atas:
Diorama penyiksaan para Jenderal dan Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta
(klik untuk memperbesar, sumber gambar: insulinda.wordpress.com)
Bagian penutup diawali dengan tulisan “Dibuat
dengan sesungguhnya mengingat sumpah jabatan” pada bagian kanan. Diikuti nama
dan tanda tangan serta cap kelima dokter anggota tim.
Bagian paling akhir dari dokumen-dokumen yang
saya peroleh ini mengenai autentifikasi dokumen. Karena dokumen ini merupakan
“salinan dari salinan” maka ada dua penanda autentifikasi dokumen ini.
Bagian pertama bertuliskan “Disalin sesuai
aslinya” dan ditandatangani oleh “Yang menyalin” yakni Kapten CKU Hamzil Rusli
Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera.
Bagian kedua autentifikasi bertuliskan “Disalin
sesuai dengan salinan” dan ditandatangani oleh “Panitera dalam Perkara Ex LKU”
Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Namun tidak ditemukan
petunjuk waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.
E. Kisah dr. Arif yang Ikut Mengotopsi
Mayat Tujuh Pahlawan Revolusi 1965 (oleh T. Santosa)
Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong putih
dan sarung biru bergaris-garis, Lim Joe Thay duduk terdiam. Bibirnya mengatup,
sering kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada dan sekali-sekali
diletakkan di atas paha. Rambutnya telah memutih sempurna. Dia tak banyak
bicara. Kalau pun bersuara, kata-katanya terdengar sayup dan samar.
dr. Liem Joey Thay alias Arief Budianto sedang duduk
di kursi roda.
Bulan Juni 2008 yang lalu, dr. Arif sempat
dirawat di RS St. Carolus. Ketika menerima kabar itu dari salah seorang kerabat
dr. Arif, saya dan Dandhy menyempatkan diri menjenguknya.
Di RS. St. Carolus kami sama-sama mengabadikan
dr. Arif. Bedanya, Dandhy menggunakan video kamera merek Panasonic, sementara
saya menggunakan kamera saku digital merek Canon.
Tadinya, informasi yang kami terima menyebutkan
bahwa dr. Arif terkena serangan struk. Setelah kami bertemu dengan beliau di
paviliun St. Carolus, dan berbicara dengan istrinya, Ny. Arif, barulah kami
ketahui bahwa dr. Arif dirawat karena terjatuh saat hendak naik ke kursi
rodanya.
Sekali waktu laki-laki yang kini berusia 83 tahun
itu bergumam. Mumbling. Saya mencoba menangkap isi ceritanya. Tidak jelas.
Terpotong-potong, patah-patah. Kalau disambungkan seperti cerita tentang
sepasukan tentara yang bergerak di sebuah tempat, entah di mana. Tapi cerita
itu tak tuntas. Dia menutup sendiri ceritanya, mengalihkan pandangan mata ke
sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan diri dalam diam.
Di saat yang lain, dia kembali menanyakan nama
saya. Dan kalau sudah begini, saya memegang tangannya, menyebutkan nama saya
sambil menatap matanya. Setelah itu senyumnya sedikit mengembang.
Dikenal dengan nama dr.
Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay adalah tokoh penting.
Sangat penting, bahkan.
Dia adalah satu dari segelintir orang yang berada
di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah Proklamasi 1945.
Lim Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu
Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI)
merupakan satu dari lima ahli forensik (lihat daftar dokter diatas halaman)
yang berdasarkan perintah Soeharto memeriksa kondisi ketujuh mayat tersebut
sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal
Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini
sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di
Amerika Serikat dan tidak diketahui pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan,
mereka berlima bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4
Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan
Darat.
Keterangan gambar atas (klik
untuk memperbesar): Para pengikut partai PKI yang ditangkap sedang dijaga ABRI
(kiri). Sebelum dibunuh para korban diarak warga menuju tempat pembantaian
(kanan).
Sedangkan beberapa tahun lalu, Benedict Anderson
telah menggunakan hasil visum et repertum ini sebagai rujukan dalam
artikelnya di jurnal Indonesia Vol. 43, (Apr., 1987), pp. 109-134, How Did
the Generals Die?
Saya mendapatkan copy visum et repertum
itu dari Dandhy DL, jurnalis RCTI. Tahun lalu, dia juga menurunkan liputan
mengenai dr. Arif dan visum et repertum ketujuh pahlawan revolusi
korban, meminjam istilah Bung Karno, intrik internal Angkatan Darat dan
petualangan petinggi PKI yang keblinger, serta konspirasi nekolim.
Keterangan gambar atas
(klik untuk memperbesar): Para korban pembantaian diinterogasi terlebih dahulu
agar memberitahukan siapa lagi yang ikut PKI (kiri). Sebelum dibantai, para
korban disuruh untuk menggali liang lahatnya sendiri (kanan).
Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh.
Namun dari hasil otopsi yang mereka lakukan sama sekali tidak ditemukan
tanda-tanda pencungkilan bola mata, atau apalagi, pemotongan alat kelamin
seperti yang digosipkan oleh media massa yang dikuasai Angkatan Darat ketika
itu.
Gosip mengenai pemotongan alat kelamin, bahkan
ada gosip yang menyebutkan ada anggota Gerwani yang setelah memotong alat
kelamin salah seorang korban, lantas memakannya– telah membangkitkan amarah di
akar rumput.
Gosip-gosip ini, menurut Ben Anderson dalam
artikelnya yang lain (saya sedang lupa judulnya) sengaja disebarkan oleh pihak
militer.
Keterangan gambar atas
(klik untuk memperbesar): Sebelum dibunuh, korban dipertontonkan dimuka umum
(kiri). Dengan kondisi tali melingkar di leher dan tangan terikat, korban masuk
ke liang lahat pembantaian yang digali oleh calon korban sendiri (tengah).
Eksekutor mengatur posisi korban sebelum pembantaian (kanan).
Maka gosip-gosip dan propaganda-propaganda yang
dihembuskan dengan kuat tersebut bagai minyak tanah yang disiramkan ke api.
Menyambar-nyambar. Membuat rakyat marah, bahkan sangat marah.
Selanjutnya, pembantaian besar-besaran terhadap
anggota PKI dan/atau siapa saja yang dituduh menjadi anggota PKI atau memiliki
relasi dengan PKI, terjadi di mana-mana, seantero Indonesia.
Spanduk-spanduk pemancing amarah rakyat tampak
memenuhi kota-kota di Indonesia.
Keterangan gambar atas
(klik untuk memperbesar): Eksekutor mengatur para calon korban pembantaian yang
kebanyakan masih remaja (kiri). Tampak eksekutor menghujamkan pisau bayonet
berkali-kali ke tubuh korban pembantaian yang terikat tanpa daya itu satu demi
satu sehingga korban mati perlahan karena rusaknya organ dalam dan kehabisan
darah, suasana sadis itu bahkan ditonton dimuka umum termasuk anak-anak kecil
(kanan).
Bahkan walau tak masuk PKI, namun semua
masyarakat yang mencintai Bung Karno dapat juga menjadi korbannya. Hanya dengan
memajang foto atau lukisan sang Proklamator saja, maka sudah cukup bukti bagi
anda dan akan merasakan akibatnya, dituduh sebagai PKI walau tanpa bukti-bukti
lain.
Dengan hanya berbekal foto Bung Karno yang
dipajang di dinding rumah, sudah cukup membuat tentara-tentara menyeret anda
keluar rumah menuju ke dalam liang lahat pada masa itu!
2 jilid buku ukuran besar berjudul “Dibawah Bendera
Revolusi” tulisan Bung Karno
Masih ingatkah anda, ada 2 jilid buku ukuran
besar berjudul “Dibawah Bendera Revolusi” tulisan Bung Karno?
Buku tersebut sempat hilang diperedaran setelah
era Orde Baru (New World Order) mulai berkuasa. Tak ada yang berani
mengeluarkannya dari dalam lemari atau laci, semua tersimpan rapi.
Dulu, karena hanya dengan memiliki buku itupun,
sudah cukup bukti bagi tentara untuk dapat menyeret anda masuk ke liang lahat.
Oleh sebab itulah, setelah rezim Orde Baru
tumbang di tahun 1998, sepasang buku “Dibawah Bendera Revolusi”
tulisan Bung Karno tersebut kembali marak.
Untuk buku asli cetakan pertama pada masa lalu itu
harganya sangat tinggi, bahkan untuk sepasang buku Jilid-1 dan Jilid-2 dan
keduanya adalah cetakan pertama yang asli harganya antara 25 juta hingga bisa
mencapai ratusan juta rupiah! Namun buku yang tak boleh beredar pada masa Orde
Baru tersebut pada masa kini sudah dicetak kembali.
Keterangan gambar atas
(klik untuk memperbesar): Tampak korban pembantaian yang tewas ditusuk lalu
mayatnya dibiarkan dipinggir jalan (kiri). Tampak korban yang telah tewas dan
masih tergantung di pohon masih dipukul-pukuli dengan kursi didepan masyarakat
umum termasuk anak-anak kecil (kanan).
Catatan tidak resmi menyebutkan setidaknya 500
ribu hingga 3 juta orang tewas dalam pembantaian massal yang terjadi hanya
dalam beberapa tahun itu.
Namun pada masa itu, tak ada satupun media yang
berani menyatakan kira-kira banyaknya korban pembantaian ini secara terbuka.
Tampak pemberitaan tentang peristiwa tragis Gerakan 30
September ini, menjadi Headline di surat kabar Harian Rakjat.
Media pada masa itu benar-benar harus pro
pemerintah (mirip di A.S. sekarang – pen.) dan semua media harus menyaring
informasi yang akan dicetak untuk masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 22 November 2011 lalu, sekitar pukul
19.00 WIB, akhirnya dr. Lim Joe Thay atau Arief Budianto meninggal dunia dengan
tenang.
Pria berusia 85 tahun itu menghembuskan nafas
terakhir di kediamannya di Jalan Johar Baru, Salemba, Jakarta Pusat.
Dan saksi sejarah itu pun ikut membawa kenangan
pahit Indonesia, tentang sejarah visum para ketujuh Pahlawan Revolusi.
Maka, sejarah yang selalu ditulis oleh sang
pemenang, kembali menuai banyak partanyaan tambahan, namun kini ikut terkubur.
Semoga bermanfaat dan sejarah pahit tak terulang kembali di negeri ini. Aamiin.
Upacara penaikan dan pengibaran bendera setengah tiang
di Istana Presiden Jakarta, sebagai simbol negara tengah berduka pasca wafatnya
7 Pahlawan Revolusi di tahun 1965.
Special Thanks to: teguhtimur.com
(sumber: detiknews/ blogs.swa-jkt.com/teguhtimur.com/insulinda.wordpress.com/
Jakartabeat.net/ wikipedia/ edited by: icc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar